Review SHARP Aquos Sense 9, Midrange Compact yang Tak Asal Ikut Arus...

Bismillah..


Saat menjajal SHARP Aquos Sense 9, saya merasakan benar apa yang orang-orang bilang bahwa perusahaan Jepang memang lambat dalam berubah. Lambat, jika dibandingkan perusahaan negara tetangga mereka di Asia Timur sana.


Namun, ada kalanya tak mengikuti tren, justru menjadi pembeda yang nyata.





Sudah jarang kan smartphone yang masih mengusung body full metal seperti SHARP Aquos Sense 9 ini. Desain yang sebetulnya pernah hype di tahun 2016 ini, ternyata masih bisa nampak elok sembilan tahun kemudian.


Selidik punya selidik, ternyata hape-hape baru Sharp ini dirancang oleh satu orang yang sama. Namanya Kazushige Miyake, desainer yang karyanya banyak dipakai juga untuk furnitur dan household.


Anyway, mau tahu apa lagi yang jarang di 2025 ini? Jawabannya: layar mini di smartphone! Makin ditinggalkan, seiring bergesernya selera dan kebutuhan pasar, meski peminatnya juga tak surut.


Dan, midrange berukuran compact plus resmi di Indonesia, kayanya sih ngga ada lawan ya, Sense 9 ini melenggang sendirian. Saingan terberatnya malah Sense 8 yang rilis tahun lalu, dan kini harganya bisa hanya setengah dari Sense 9.





Sama-sama compact, sama-sama punya durabilitas dengan standar militer, sama-sama mendukung penggunaan eSIM.


Perihal masalah di layar Sense 8, dulu saya tak sempat mengalami. Jadi silakan cari referensi lebih dalam jika ingin meminangnya di taun 2025 ini.


Oh ya, ada beberapa catatan yang sudah saya berikan untuk hape 6-jutaan ini.


Yang jelas, saya memberi catatan merah kepada Sharp untuk urusan software update


Coba perhatikan kalimat di web mereka, “OS version upgrades max 3 times”. Secara bahasa, artinya paling banyak akan ada tiga kali upgrade versi Android. Paling banyak! Jadi kalaupun hanya dua kali, sekali, atau bahkan tak ada upgrade, mereka tidak menyalahi pernyataan tadi.





Brand lain itu menjanjikan jumlah minimal upgrade, bukan maksimal. Tapi ya mudah-mudahan jumlah minimal ini dipenuhi Sharp lah.


Karena, Sense 9 ini masih menggunakan security patch bulan Oktober 2024, saat saya menulis naskah ini di pertengahan Februari 2025. Aduduh, PR-nya banyak banget itu.





Catatan kedua adalah soal proses charging-nya, yang saya lihat mengadopsi apa yang Google lakukan di Pixel series. Bisa kebut di awal, namun setelah 80% ke atas berubah sangat lambat. 


Ini tidak jelek, malah sebetulnya dilakukan untuk menjaga umur baterai agar relatif lebih panjang.


Namun saya yakin, buat mereka yang sudah terbiasa dengan protokol fast charging milik brand China, akan merasa proses pengisian dayanya hingga penuh sangat menjemukan.





Yang ketiga dan keempat, saya kasih catatan merah soal user experience di kameranya. Ya, karena berpindah lensa di Aquos Sense 9 ini seringkali bikin kesal. Kadang butuh dua kali tap, atau kadang butuh ekstra sabar menunggu pindah lensa wide ke ultrawide, atau sebaliknya. Tentunya hal ini tak terjadi saat pindah zoom 1x ke 2x, karena sejatinya pakai lensa yang sama, hanya pakai in-sensor zoom.


Lalu, berfoto dengan mode portrait juga sama butuh kesabaran, menunggu proses penyimpanan hasilnya. Seingat saya ini tak terjadi di Aquos R9 dulu, jadi entah itu bug, atau dapur pacu dan tipe storage yang digunakan, kurang kencang.


SHARP Aquos Sense 9 ini, pakai processor Qualcomm lagi, kali ini Snapdragon 7s gen 2. Peningkatan dibanding Sense 8 yang memakai Snapdragon 6 gen 1, cuma sekarang Qualcomm kan sudah rilis generasi ketiga dan keempat.


Storage-nya 256GB pakai UFS2.2, dengan RAM 8GB yang menggunakan LPDDR4X.


Kombinasi dapur pacu yang seharusnya cukup buat berbagai tujuan penggunaan ini, nampak kewalahan menghadapi image processing di mode portrait, meski ternyata buah kesabaran, manis rasanya.


Anyway, Always-on Display di Aquos sense9 makin bisa dikustom ya penampilannya, good job buat SHARP yang mengandalkan panel buatan mereka sendiri. Nama panelnya Pro IGZO OLED, dan jangan risau kalau di kamera, layar ini sering terlihat flicker. Di mata manusia tidak koq, bahkan punya blue light reduction agar mata yang melihatnya tak mudah lelah.


Cuma memang, vibrancy layarnya terlihat berlebihan di mata saya. Pengaturan rekomendasi Sharp rasanya terlalu dangdut warnanya. Lebih baik pilih setting Natural saja, lebih nyaman dilihat untuk saya.


Untuk konsumsi multimedia sih aman, kerapatannya jelas tinggi karena layarnya lebih mungil, plus stereo speaker-nya juga lantang.


Buat main game juga kenceng suaranya. Kalau performa ya bisa kenceng lah jika main PUBG Mobile doang seperti saya. Bisa dapat settingan HDR-Extreme, atau Ultra HDR-Ultra. Dan main di Smooth-Extreme lancar jaya.


Sebagai acuan, skor Antutu benchmark-nya 588-ribuan. Jelas kaum mendang-mending ga akan puas ya, karena hape 6-jutaan lain sudah pada tembus sejuta skornya. So balik lagi, hapenya mau dipake ngapain.


Overall, kalau dipakai untuk komunikasi dan kerja plus bermedsos ria, smartphone ini bisa bertahan lebih dari 24 jam. Screenshot yang saya munculkan di video ulasannya di Youtube, mungkin agak aneh. Screen-on time-nya kosong. Sepertinya bug yang lagi-lagi jadi Pe-eR buat Sharp. Lalu total usage juga tidak ada datanya, tapi saya lihat aplikasi GBoard sudah berjalan setidaknya 1 hari plus 19 jam, atau 43 jam.


Lalu kameranya, sudah dibekali AI, meski citarasanya berbeda dengan kebanyakan smartphone asal China yang sekarang menjamur di pasaran.


Bukaan lensa ultrawide-nya terasa lebih lebar, dan ternyata sudah autofokus, plus dibekali sensor 50 Megapixel. Jauh lebih dermawan dari hape 9-jutaan yang punya kamera ultrawide 8 Megapixel saja bukan?


Hasil foto-fotonya bisa dipertanggungjawabkan untuk harganya. Namun lagi-lagi user experience di aplikasi kamera bawaan ini, tidak bisa saya puji. Mau ubah resolusi perekaman video saja terasa sekali ribetnya.





Padahal kedua kamera di belakang ponsel ini sanggup merekam hingga 4K 30fps. Kestabilan hasilnya pun saya acungi jempol lho. Namun menu pemilihan resolusi dan framerate-nya ini lagi-lagi bikin kesal.


Untuk kamera depan, selain mentok di Full HD 30fps, stabilisasi juga kurang. Karena saat digunakan sambil berjalan, hasilnya masih terasa kasar patahannya, plus HDR kurang mampu mengangkat detail wajah saat menghadap backlight.


Untungnya hasil fotonya sih masih lumayan, walau jelas tidak sekinclong selfie-selfie hape Tiongkok.


Bagi saya, SHARP Aquos Sense 9 tetap harus diapresiasi sebagai bentuk eksistensi dan keseriusan Sharp, yang sebetulnya bisa saja adem ayem jualan TV, AC, dan perabot elektronik rumah tangga saja.


Keunikan produk mereka, seakan jadi pelepas dahaga dan pengobat kejenuhan para penikmat gadget, dari makin monotonnya produk smartphone belakangan ini.


Masukan untuk perbaikan sudah saya berikan juga di video yang saya unggah ke Youtube. Mudah-mudahan diterima dengan baik oleh pihak brand.

Masalah harga, saya pikir biarlah Sharp berjualan dengan sehat, di mana jualan tentu harus ada cuan. Karena yang bakar-bakar duit, banyak yang sudah berguguran atau ganti strategi.





Konsumen bisa pilih dua cara jika ingin beli lebih murah. Pertama, ikut Pre-order agar dapat cashback plus langganan streaming setahun. Kedua tunggu harganya turun beberapa bulan kemudian, tapi harus sabar.


Yang pasti, gunakan promo-promo marketplace semisal tanggal kembar atau payday, agar harganya bisa makin ditekan lagi. Saya bantu carikan link penjualan yang termurah dan terpercaya deh, buat kamu-kamu yang serius ingin menjajal hape Jepang yang satu ini. Kalau belum coba sendiri, sulit memang merasakan perbedaannya, terutama buat mereka yang terpaku pada harga vs processor yang dipakai.


Sip sip, bahasannya sampai di sini. Hatur nuhun!



 


Comments

Popular Posts